Provinsi
Kalimantan Utara (Kaltara) secara resmi disyahkan dalam sidang paripurna DRPRI
pada hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012 yang lalu. Provinsi ke 34 yang baru
terbentuk ini terdiri dari lima
kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten
Tana Tidung, Kabupaten Bulungan, dan Kota Tarakan. Tanjung Selor yang merupakan
ibukota kabupaten Bulungan ditetapkan sebagai ibukota Propinsi. Pengesahan
tersebut bersamaan dengan pengesahan pembentukan empat kabupaten baru masing
masing adalah Kabupaten Pangandaran, di
Jawa Barat, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua
Barat dan Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung.
Pemekaran
Propinsi Kaltara dari propinsi induk, Kalimantan Timur ini diharapkan dapat
segera memacu pembangunan di kawasan perbatasan negara dengan Malaysia
mengingat Kaltara berbatasan darat dan laut langsung dengan Negara jiran
tersebut. Kabupaten Bulungan (dulunya disebut Bulongan) yang menjadi Ibukota
Propinsi baru ini, merupakan kelanjutan dari Kesultanan Bulungan yang pernah memiliki
sejarah gemilang hingga ke masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Di
Kabupaten Bulungan masih dapat ditemui satu satunya peninggalan sejarah yang
masih utuh hingga kini yakni Masjid Sultan Kasimuddin yang berada di Tanjung
Palas, tak seberapa jauh dari Tanjung Selor.
Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan...
Berdasarkan
legenda yang dituturkan masyarakat setempat secara turun temurun, Bulungan,
berasal dari perkataan “Bulu Tengon” (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu
betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi
“Bulungan”. Legenda menyebutkan bahwa dari sebuah bambu itulah terlahir seorang
calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan,
lahirlah kesultanan Bulungan.
Meski
tak ada catatan tertulis, namun dapat diketahui bahwa masyarakat Bulungan
ketika itu sudah memiliki struktur kepimpinan adat yang bernafaskan Islam. Di
tahun 1555 – 1595 seorang kepala adat bernama Datu mencang memimpin masyarakat
Bulungan dengan gelar Ksatria Wira. Kemudian beliau digantikan oleh menantunya
yang berasal dari Filipina Selatan bernama Singa Laut dan berkuasa di kurun
waktu 1595 – 1631. Setelah itu kepemimpinan dilanjutkan oleh Wira Kelana lalu Wira
Digedung hingga tahun 1731. Tahun 1731 terbentuklah Kesultanan Bulungan dengan
Wira Amir sebagai Sultan Bulungan pertama Bergelar Sultan Amiril Mukminin
berkuasa hingga tahun 1777. Kepemimpinan kesultanan berlanjut secara turun
temurun.
Berikut
ini adalah para Sultan, Wali Sultan dan Pemangku Kesultanan yang pernah
berkuasa di Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara, mulai dari Sultan
Pertama yakni Sultan Amiril Mukminin (1731-1777) hingga ke Sultan
terahir, Sultan Djalaluddin (1931-1959).
Sultan ke-1 : Wira Digedung, Sultan Amiril Mukminin 1731 – 1777
Sultan ke-2 :
Aji Ali, Sultan Alimuddin 1777-1817
Sultan ke-3 : Aji Muhammad, Sultan Muhammad
Amiril Kaharuddin 1817-1861
Sultan ke-4 : Si Kiding, Sultan Muhammad
Djalaluddin 1861-1866
Sultan ke-5 : Aji Muhammad, Sultan Muhammad
Amiril Kaharuddin 1866-1873
Sultan ke-6 :
Datuk Alam, Khalifatul Alam Muhammad Adil 1873 – 1875
Sultan ke-7 :
Ali Kahar, Sultan Kaharuddin II 1875 – 1889
Sultan ke-8 :
Sultan Azimuddin 1889 – 1899
Wali Sultan :
Puteri Sibut (permaisuri Sultan
Azimudin) 1899 - 1901
Sultan ke-9 :
Datu Belembung, Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din Atau Sultan Kasimuddin (1901
– 1925)
Pemangku
Kesultanan : Datuk Mansyur (1925 – 1930)
Sultan ke-10
: Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931)
Sultan ke-11
: Datuk Tiras, Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (1931 – 1959)
Aji Muhammad atau Sultan
Muhammad Amiril Kaharuddin, dua kali menjabat sebagai Sultan Bulungan. Periode
pertama dijabatnya tahun 1817 hingga 1861. Tahun 1861 beliau mundur dan
mengangkat Putranya Si Kiding sebagai sultan bergelar Sultan Muhammad
Djalaluddin namun justru wafat mendahului beliau di tahun 1866. Itu sebabnya
kemudian beliau kembali naik tahta untuk kedua kalinya sebagai Sultan Bulungan
ke-5 hingga tahun 1873.
Sultan Kasimuddin |
Ketika
Sultan Bulungan ke-8, Sultan Azimudin wafat ditahun 1899, putra putra beliau
masih belia dan belum layak untuk menjadi Sultan. Maka Permaisuri beliau yang
juga puteri dari Sultan Kaharudin II, Puteri Sibut atau Pengian Kesuma yang
kemudian bertindak sebagai wali Sultan sampai tahun 1901 dibantu oleh perdana menteri
Datu Mansyur. Baru kemudian di tahun 1901 putra Sultan Azimudin yang bernama Datu
Belembung di angkat menjadi Sultan Bulungan ke 9 bergelar Sultan Maulana
Muhammad Kasim Al-Din Atau lebih dikenal dengan nama Sultan Kasimuddin.
Sultan
Kasimuddin (1901-1925) meninggal karena tertembak di tahun 1925. Sementara Putranya Ahmad
Sulaiman yang semestinya menjadi pewaris tahta waktu itu sedang mengikuti
pendidikan Holands Inlandsche School (HIS) di Samarinda dan Medan. Maka untuk
sementara waktu kekuasaan pemerintahan dikendalikan oleh Datu Mansyur hingga
tahun 1930 sebagai pejabat pemangku kesultanan. Sultan Ahmad Sulaiman baru naik tahta saat
kembali ke Bulungan setelah menyelesaikan pendidikannya. Namun masa jabatannya sangat singkat,
hanya Sembilan bulan karena beliau wafat secara mendadak.
Ketika
Sultan Bulungan ke-10, Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931) mangkat di tahun
1931 beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Datuk Tiras bergelar Sultan
Maulana Muhammad Djalaluddin yang berkuasa sebagai Sultan Hingga tahun 1950. Di
masa pemerintahan beliau, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan Kesultanan
menetapkan meleburkan diri ke dalam NKRI. Di masa pemerintahan beliau juga
untuk pertama kali dikibarkan bendera merah putih di halaman Istana Kesultanan
Bulungan dalam upacara 17 Agustus 1949.
Tahun
1950 Kedudukan Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja melalui
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 dan disahkan
dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953 . Setahun kemudian, Melalui
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 Kedudukan
Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja . Keputusan gubernur
ini disahkan dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953.
Tahun
1955 wilayah Kesultanan Bulungan ditetapkan menjadi Daerah Istimewa sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1955, Sultan Maulana Djalaluddin
diangkat menjadi Kepala Daerah Bulungan Pertama sampai beliau mangkat 21
Desember 1958. Setahun setelah wafatnya Sultan Terahir Bulungan ini, di tahun 1959
melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 Status Daerah Istimewa Diubah Lagi
Menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan, dan Bupati pertamanya adalah Andi
Tjatjo Datuk Wiharja (1960 – 1963) yang tak lain adalah adik ipar dari Sultan
Maulana Djalaluddin . Sejak itu pula pusat pemerintahan dipindahkan dari
Tanjung Palas ke Tanjung Selor hingga sekarang ini.
a
Salah satu harta kekayaan sejarah Bulungan adalah Mesjid Sultan Kasimuddin atau dikenal dengan nama Mesjid Kasimuddin, nama itu sudah sangat dikenal sebagian besar masyarakat Bulungan, namun sejarah yang melikupinya, ternyata tidak setenar namanya. saya akan mengajak kawan-kawan merefres ingatan kita mengenai mesjid bersejarah ini.
Mesjid Jami’ Kasimuddin merupakan sebuah masjid bersejarah yang dibangun Peninggalan Sultan kasimuddin(1901-1925), seorang Sultan yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan dikenal sangat dekat dengan para ulama, beliau amat gigih melawan pengaruh Belanda di Bulungan, Hal itu tergambar dari ucapannya yang sangat terkenal saat ia menghentikan kebiasaan protokoler yang mengharuskan Sultan menjemput di dermaga ketika pejabat Belanda hendak berkunjung ke isana raja;
“kalau kami sendiri harus menjemput tuan Belanda dari kapal untuk menghadap raja, maka raja mana lagi yang harus dikunjungi, karena saya adalah raja !,“
(teras luar mesjid Kasimuddin, ditempat inilah anak-anak biasanya mengaji Al-Qur'an)
Menurut H. E. Mohd Hasan, dkk, Mesjid Kasimuddin di Bangun sekitar tahun 1900-an, letaknya tak begiru jauh dari bekas mesjid pertama yang dibangun oleh Sultan Datu Alam Muhammad Adil yang berada di dekat tepi sungai Kayan.
Konon pengerjaan mesjid ini langsung diawasi oleh sultan sendiri. asal lokasi tempat mendirikan mesjid kasimuddin, menurut sumber tertulis letaknya kurang lebih 150 meter ke arah darat dari lokasi mesjid pertama, ini artinya dahulu mesjid tua sebelum mesjid Kasimuddin di bangun, lokasinya sangat dekat sekali dari pinggir sungai, sehingga mungkin di khawatirkan pondasinya bisa rubuh dan membahayakan jemaah. kondisi tanah agak becek karena berupa tanah rawa sehingga masyarakat bergotong royong membersihkan dan menimbunnya. uniknya waktu penimbunan tanah pada siang hari untuk kaum laki-laki sedangkan pada malam hari dikerjakan oleh kaum wanita. tidak hanya masyarakat biasa, Sultan Kasimuddin, beserta staf istana dan pegawai mesjid juga turut terlibat penuh dalam pembangunan mesjid bersejarah ini.
(suasana hening dan tenang didalam mesjid Kasimuddin)
Mesjid Kasimuddin memiliki luas 21 X 21 meter dengan model bangunan lama mempunyai tiang penyangga langsung ditengah berjumlah 16 buah yang panjangnya kurang lebih 20 meter dengan besar 25 X 25 centi meter. Mesjid Kasimuddin memiliki 12 buah daun pintu yaitu: 3 buah daun pintu di depan, 3 buah daun pintu di kiri dan 3 buah di kanan masjid, dan 2 dua buah daun pintu lagi di belakang dekat mimbar menghadap ke kompleks kuburan Sultan Bulungan dan keluarga. Pada awalnya lantainya hanya dilapisi oleh tikar, kemudian dengan biaya Sultan Kasimuddin sendiri lantai tersebut dipercantik dengan tehel (marmer) sampai sekarang. Sumber lain menyebutkan marmer dimesjid Kasimuddin diperindah ulang dimasa Sultan Djalaluddin. Juga tak kalah menariknya seni kaligrafi Islam, Khat yang sangat indah bisa dijumpai disetiap sisi dalam mesjid bersejarah ini.
(tiga belas pejabat keagamaan yang di lantik oleh Sultan Djalaluddin di Istanan Bulungan pada tahun 1933, penujukan dan penetapan Mufti, Qadi dan para Imam ini, merupakan kelangsungan dari tradisi yang dijalankan dimasa Sultan Kasimuddin. Penulis mencoba menelusuri sejarah para Qadi dimasa tersebut berdasarkan sumber lokaL, kemungkinan besar Qadi yang dilantik adalah Hadji Baha'Uddin, ulama asal Minangkabau, sedangkan Mufti kemungkinan besar adalah Hadji Syahabuddin Ambo' Tuwo, ulama asal Wajo yang juga guru mengaji di Istana Bulungan tempo dulu.)
Hal ini dapat dipahami, bahwa ada semacam pandangan bahwa jabatan seorang imam akan lebih baik jika diturunkan pada generasi keluarganya, tentu bukan hanya soal asal usul keluarga namun juga karena pemahaman tentang agama islam mereka yang mumpuni diatas rata-rata masyarakat biasa. Hal ini setidaknya terjadi sebelum reformasi total yang dilakukan oleh Sultan Kasimuddin.
Dimasa Sultan Kasimuddin berkuasa, ia melakukan langkah-langkah penting melakukan islamisasi politik di dalam istana, jabatan keagamaan disatukan dalam satu jawatan dimana Mufti Negeri, Qadi dan Imam Besar memiliki peran dan pengaruh yang semakin besar untuk melakukan pembinaan terhadap umat, namun disisi lain jabatan ini,-Khususnya Imam Besar- tidak lagi otonom karena istana akhirnya masuk lebih jauh lagi.
Dizaman kesultanan, khususnya pada bulan-bulan hijriyah yang penting, ada semacam tradisi berkumpulnya para pemuka agama dan masyarakat serta kerabat kesultanan di istana Bulungan, biasanya diawali dengan tembakan salvo "Meriam Sebenua", khususnya pada awal dan akhir Ramadhan serta malam 1 Syawal.
(ukiran khat yang indah pada langit-langit mesjid Kasimuddin, disinilah agama dan seni menemukan kata sepakat)
Sehari menjelang awal Ramadhan, semua pengawai mesjid termasuk khususnya yang termasuk dalam jawatan agama islam, berkumpul bersama di istana untuk mengadakan tahlilan menyambut ramadhan. selesai acara Sultan biasanya memberikan uang panjar kepada pegawai mesjid atau jawatan keagamaan dimana Qadi dan juga Mufti 35 gulden para Imam 25 gulden, khatib 15 gulden dan Santri 10 gulden. selama Ramadhan seluruh pegawai mesjid dan staf istana tidak ada yang meninggalkan tempat khususelaksanakan tugasnya. sepanjang malam biasanya mesjid ramai dengan acara Tadarus Al-Qur'an baik di Mesjid Kasimuddin maupun istana raja, bahkan makan untuk yang mengaji atau tadarus alquran langsung ditanggung oleh istana, sepanjang Ramdhan Kesultanan juga menyediakan buka puasa dimesjid dan istana Bulungan.
Pada pertengahan Ramadhan, oleh pegawai mesjid besar diadakan acara khataman Al-Qur'an di istana, biasanya mereka kemudian akan diberi hadiah uang panjar, kataman juga dilakukan diakhir bulan ramadhan sekaligus pembagian zakat fitrah oleh pegawai mesjid.
Setiap tanggal 27 ramadhan Sultan mengeluarkan Zakat Maal (harta) dimesjid, tempat sembahyang Tarwih juga disediakan tidak hanya di dalam, namun juga diluar mesjid.
Benda-benda peninggalan di dalam Mesjid Kasimuddin.
peninggalan-peninggalan bersejarah dapat pula kita temui dimesjid ini, diantaranya adalah Beduk dan Mimbar mesjid yang usianya sudah ratusan tahun.
(tampak dari depan tabuh keramat mesjid Kasimuddin)
Beduk di mesjid ini merupakan salah satu peninggalan Islam di Bulungan. Beduk tersebut sekarang ini tersimpan di teras Mesjid Sultan Kasimuddin, usianya diperkirakan lebih dari 200 tahun namun sampai hari ini kayunya masih bagus, menurut kisah yang beredar, beduk tersebut merupakan potongan kayu tabuh (beduk) di mesjid tua yang berada di Baratan.
Konon kayu ini hanyut dari hulu dan terdampar didalam parit dekat lokasi mesjid kasimuddin saat ini, kayu tersebut sudah berbentuk beduk dari awalnya. Maka oleh ketua-ketua kampunga, potongan kayu beduk yang mereka sebut "nenek kayu" tersebut mereka jadikan tabuh mesjid agung tersebut.
Riwayat lain menceritakan ada satu masa orang-orang yang tinggal di hilir kampung Penisir, dihulunya kampung Baratan sekarang, pada malam tanggal 15 bulan Hijriyah yang bertepatan dengan malam jumat, pada tengah malam sering terdengar suara pukulan tabuh atau beduk berirama panjang dan bertalu-talu, kesaksian lain dari masyarakat bahwa disungai pernah dilihat oleh masyarakat berupa dahan-dahan kayu yang masih hidup timbul dan mudik melawan arus air, kemudian tenggelam lagi ke lokasi asalnya, potongan kayu tersebut dipercayai berasal dari lokasi yang sama dimana terlihat fenomena potongan kayu yang melawan arus tersebut.
(ukuran panjang keseluruhan beduk Mesjid Kasimuddin)
Penulis telah melakukan pengukuran terhadap beduk tersebut pada tanggal 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, hasilnya diketahui beduk tersebut memiliki panjang 274 cm, dengan diameter garis tengah 47 cm, dan memiliki ketebalan kayu sekitar 1 inci atau 2,4 cm.
Selain tabuh atau beduk, benda bersejarah lainnya adalah Mimbar yang saat ini terdapat didalam Mesjid Sultan Kasimuddin, merupakan mimbar yang cukup tua umurnya, keistimewaan dari mimbar ini adalah ia sepenuhnya merupakan representasi dari seni ukir Bulungan yang begitu indah.
Pola hias berupa dedaunan sangat menonjol dihampir semua bagian mimbar terutama pada tangga mimbar, kepala mimbar, bagian dalam mimbar yang semuanya diukir dengan sangat teliti serta dilapisi cat berwarna keemasan, mimbar Mesjid Sultan Kasimuddin merupakan salah masterpiech yang sampai sat ini masih dapat dinikmati keindahan dan keberadaannya. Menurut penuturan sumber lokal, mimbar tersebut dibuat dan dihadiahkan oleh seorang kerabat Kesultanan yang sangat ahli dalam seni ukir Bulungan.
(keindahan ukiran pada mimbar mesjid Kasimuddin, salah satu mahakarya Bulungan yang masih bisa kita saksikan hari ini)
demikianlah selayang pandang sejarah mesjid Kasimuddin, semoga kita, generasi mudah bisa lebih menghargai nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelum kita.
Sumber:
H.E. Mohd. Hassan, ddk.“Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”,Tanjung Selor 26 November 1981.
Catatan hasil ukuran beduk mesjid kasimuddin, 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, oleh Muhammad Zarkasy. lokasi Mesjid Sultan Kasimuddin Tanjung Palas.
Salah satu harta kekayaan sejarah Bulungan adalah Mesjid Sultan Kasimuddin atau dikenal dengan nama Mesjid Kasimuddin, nama itu sudah sangat dikenal sebagian besar masyarakat Bulungan, namun sejarah yang melikupinya, ternyata tidak setenar namanya. saya akan mengajak kawan-kawan merefres ingatan kita mengenai mesjid bersejarah ini.
Riwayat Masjid Singkat Masjid Kasimuddin...
Mesjid Jami’ Kasimuddin merupakan sebuah masjid bersejarah yang dibangun Peninggalan Sultan kasimuddin(1901-1925), seorang Sultan yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan dikenal sangat dekat dengan para ulama, beliau amat gigih melawan pengaruh Belanda di Bulungan, Hal itu tergambar dari ucapannya yang sangat terkenal saat ia menghentikan kebiasaan protokoler yang mengharuskan Sultan menjemput di dermaga ketika pejabat Belanda hendak berkunjung ke isana raja;
“kalau kami sendiri harus menjemput tuan Belanda dari kapal untuk menghadap raja, maka raja mana lagi yang harus dikunjungi, karena saya adalah raja !,“
(teras luar mesjid Kasimuddin, ditempat inilah anak-anak biasanya mengaji Al-Qur'an)
Menurut H. E. Mohd Hasan, dkk, Mesjid Kasimuddin di Bangun sekitar tahun 1900-an, letaknya tak begiru jauh dari bekas mesjid pertama yang dibangun oleh Sultan Datu Alam Muhammad Adil yang berada di dekat tepi sungai Kayan.
Konon pengerjaan mesjid ini langsung diawasi oleh sultan sendiri. asal lokasi tempat mendirikan mesjid kasimuddin, menurut sumber tertulis letaknya kurang lebih 150 meter ke arah darat dari lokasi mesjid pertama, ini artinya dahulu mesjid tua sebelum mesjid Kasimuddin di bangun, lokasinya sangat dekat sekali dari pinggir sungai, sehingga mungkin di khawatirkan pondasinya bisa rubuh dan membahayakan jemaah. kondisi tanah agak becek karena berupa tanah rawa sehingga masyarakat bergotong royong membersihkan dan menimbunnya. uniknya waktu penimbunan tanah pada siang hari untuk kaum laki-laki sedangkan pada malam hari dikerjakan oleh kaum wanita. tidak hanya masyarakat biasa, Sultan Kasimuddin, beserta staf istana dan pegawai mesjid juga turut terlibat penuh dalam pembangunan mesjid bersejarah ini.
(suasana hening dan tenang didalam mesjid Kasimuddin)
Mesjid Kasimuddin memiliki luas 21 X 21 meter dengan model bangunan lama mempunyai tiang penyangga langsung ditengah berjumlah 16 buah yang panjangnya kurang lebih 20 meter dengan besar 25 X 25 centi meter. Mesjid Kasimuddin memiliki 12 buah daun pintu yaitu: 3 buah daun pintu di depan, 3 buah daun pintu di kiri dan 3 buah di kanan masjid, dan 2 dua buah daun pintu lagi di belakang dekat mimbar menghadap ke kompleks kuburan Sultan Bulungan dan keluarga. Pada awalnya lantainya hanya dilapisi oleh tikar, kemudian dengan biaya Sultan Kasimuddin sendiri lantai tersebut dipercantik dengan tehel (marmer) sampai sekarang. Sumber lain menyebutkan marmer dimesjid Kasimuddin diperindah ulang dimasa Sultan Djalaluddin. Juga tak kalah menariknya seni kaligrafi Islam, Khat yang sangat indah bisa dijumpai disetiap sisi dalam mesjid bersejarah ini.
Relasi Masjid dan Istana...
Dimasa lampau, mesjid Kasimuddin memiliki relasi yang kuat dengan istana Bulungan. pada awalnya para imam mesjid dipilih beradasarkan garis darah turun temurun alias garis keturunan yang terpilih. ini artinya jabatan imam dimasa lampau merupakan jabatan penting yang bersifat otonom, dimana istana tidak ikut campur namun tetap mengakui eksistenisi dan kepemimpinan Imam mesjid tersebut.(tiga belas pejabat keagamaan yang di lantik oleh Sultan Djalaluddin di Istanan Bulungan pada tahun 1933, penujukan dan penetapan Mufti, Qadi dan para Imam ini, merupakan kelangsungan dari tradisi yang dijalankan dimasa Sultan Kasimuddin. Penulis mencoba menelusuri sejarah para Qadi dimasa tersebut berdasarkan sumber lokaL, kemungkinan besar Qadi yang dilantik adalah Hadji Baha'Uddin, ulama asal Minangkabau, sedangkan Mufti kemungkinan besar adalah Hadji Syahabuddin Ambo' Tuwo, ulama asal Wajo yang juga guru mengaji di Istana Bulungan tempo dulu.)
Hal ini dapat dipahami, bahwa ada semacam pandangan bahwa jabatan seorang imam akan lebih baik jika diturunkan pada generasi keluarganya, tentu bukan hanya soal asal usul keluarga namun juga karena pemahaman tentang agama islam mereka yang mumpuni diatas rata-rata masyarakat biasa. Hal ini setidaknya terjadi sebelum reformasi total yang dilakukan oleh Sultan Kasimuddin.
Dimasa Sultan Kasimuddin berkuasa, ia melakukan langkah-langkah penting melakukan islamisasi politik di dalam istana, jabatan keagamaan disatukan dalam satu jawatan dimana Mufti Negeri, Qadi dan Imam Besar memiliki peran dan pengaruh yang semakin besar untuk melakukan pembinaan terhadap umat, namun disisi lain jabatan ini,-Khususnya Imam Besar- tidak lagi otonom karena istana akhirnya masuk lebih jauh lagi.
Dizaman kesultanan, khususnya pada bulan-bulan hijriyah yang penting, ada semacam tradisi berkumpulnya para pemuka agama dan masyarakat serta kerabat kesultanan di istana Bulungan, biasanya diawali dengan tembakan salvo "Meriam Sebenua", khususnya pada awal dan akhir Ramadhan serta malam 1 Syawal.
(ukiran khat yang indah pada langit-langit mesjid Kasimuddin, disinilah agama dan seni menemukan kata sepakat)
Sehari menjelang awal Ramadhan, semua pengawai mesjid termasuk khususnya yang termasuk dalam jawatan agama islam, berkumpul bersama di istana untuk mengadakan tahlilan menyambut ramadhan. selesai acara Sultan biasanya memberikan uang panjar kepada pegawai mesjid atau jawatan keagamaan dimana Qadi dan juga Mufti 35 gulden para Imam 25 gulden, khatib 15 gulden dan Santri 10 gulden. selama Ramadhan seluruh pegawai mesjid dan staf istana tidak ada yang meninggalkan tempat khususelaksanakan tugasnya. sepanjang malam biasanya mesjid ramai dengan acara Tadarus Al-Qur'an baik di Mesjid Kasimuddin maupun istana raja, bahkan makan untuk yang mengaji atau tadarus alquran langsung ditanggung oleh istana, sepanjang Ramdhan Kesultanan juga menyediakan buka puasa dimesjid dan istana Bulungan.
Pada pertengahan Ramadhan, oleh pegawai mesjid besar diadakan acara khataman Al-Qur'an di istana, biasanya mereka kemudian akan diberi hadiah uang panjar, kataman juga dilakukan diakhir bulan ramadhan sekaligus pembagian zakat fitrah oleh pegawai mesjid.
Setiap tanggal 27 ramadhan Sultan mengeluarkan Zakat Maal (harta) dimesjid, tempat sembahyang Tarwih juga disediakan tidak hanya di dalam, namun juga diluar mesjid.
Benda-benda peninggalan di dalam Mesjid Kasimuddin.
peninggalan-peninggalan bersejarah dapat pula kita temui dimesjid ini, diantaranya adalah Beduk dan Mimbar mesjid yang usianya sudah ratusan tahun.
(tampak dari depan tabuh keramat mesjid Kasimuddin)
Beduk di mesjid ini merupakan salah satu peninggalan Islam di Bulungan. Beduk tersebut sekarang ini tersimpan di teras Mesjid Sultan Kasimuddin, usianya diperkirakan lebih dari 200 tahun namun sampai hari ini kayunya masih bagus, menurut kisah yang beredar, beduk tersebut merupakan potongan kayu tabuh (beduk) di mesjid tua yang berada di Baratan.
Konon kayu ini hanyut dari hulu dan terdampar didalam parit dekat lokasi mesjid kasimuddin saat ini, kayu tersebut sudah berbentuk beduk dari awalnya. Maka oleh ketua-ketua kampunga, potongan kayu beduk yang mereka sebut "nenek kayu" tersebut mereka jadikan tabuh mesjid agung tersebut.
Riwayat lain menceritakan ada satu masa orang-orang yang tinggal di hilir kampung Penisir, dihulunya kampung Baratan sekarang, pada malam tanggal 15 bulan Hijriyah yang bertepatan dengan malam jumat, pada tengah malam sering terdengar suara pukulan tabuh atau beduk berirama panjang dan bertalu-talu, kesaksian lain dari masyarakat bahwa disungai pernah dilihat oleh masyarakat berupa dahan-dahan kayu yang masih hidup timbul dan mudik melawan arus air, kemudian tenggelam lagi ke lokasi asalnya, potongan kayu tersebut dipercayai berasal dari lokasi yang sama dimana terlihat fenomena potongan kayu yang melawan arus tersebut.
(ukuran panjang keseluruhan beduk Mesjid Kasimuddin)
Penulis telah melakukan pengukuran terhadap beduk tersebut pada tanggal 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, hasilnya diketahui beduk tersebut memiliki panjang 274 cm, dengan diameter garis tengah 47 cm, dan memiliki ketebalan kayu sekitar 1 inci atau 2,4 cm.
Selain tabuh atau beduk, benda bersejarah lainnya adalah Mimbar yang saat ini terdapat didalam Mesjid Sultan Kasimuddin, merupakan mimbar yang cukup tua umurnya, keistimewaan dari mimbar ini adalah ia sepenuhnya merupakan representasi dari seni ukir Bulungan yang begitu indah.
Pola hias berupa dedaunan sangat menonjol dihampir semua bagian mimbar terutama pada tangga mimbar, kepala mimbar, bagian dalam mimbar yang semuanya diukir dengan sangat teliti serta dilapisi cat berwarna keemasan, mimbar Mesjid Sultan Kasimuddin merupakan salah masterpiech yang sampai sat ini masih dapat dinikmati keindahan dan keberadaannya. Menurut penuturan sumber lokal, mimbar tersebut dibuat dan dihadiahkan oleh seorang kerabat Kesultanan yang sangat ahli dalam seni ukir Bulungan.
(keindahan ukiran pada mimbar mesjid Kasimuddin, salah satu mahakarya Bulungan yang masih bisa kita saksikan hari ini)
demikianlah selayang pandang sejarah mesjid Kasimuddin, semoga kita, generasi mudah bisa lebih menghargai nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelum kita.
Sumber:
H.E. Mohd. Hassan, ddk.“Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”,Tanjung Selor 26 November 1981.
Catatan hasil ukuran beduk mesjid kasimuddin, 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, oleh Muhammad Zarkasy. lokasi Mesjid Sultan Kasimuddin Tanjung Palas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar